𝕀𝕓𝕦 π•Šπ•–π•‘π•¦π•™ π••π•’π•Ÿ π•Žπ•’π•£π•¦π•Ÿπ•˜ π•Šπ•–π•œπ• π•π•’π•™

Cerpen Karya: Suprianto atau yang akrab disapa Prie ini, telah dimuat sebelumnya oleh media online Pratama Media News, portal berita yang menyajikan berbagai kabar dan informasi terhangat yang disajikan oleh reporter profesional dari dalam negeri maupun manca negara, pada 9 April 2023, dengan editor JHK.


Saat dulu dinyatakan lulus sekolah, aku menyempatkan pamit pada pemilik warung makan, seorang Ibu Sepuh yang kebaikannya sangat aku rasakan selama aku jajan di warungnya.

"Saya sudah lulus Bu," kataku ketika itu dengan perasaan bangga.


Ibu Sepuh itu terdiam beberapa saat. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang mulai keriput. Namun, terlihat jelas dari matanya yang berkaca-kaca, ia menyembunyikan rasa haru yang tersimpan mulus dalam relung jiwanya.


Aku mengerti perasaan Ibu Sepuh itu karena aku pun dilanda perasaan yang sama. Ia memang bukan ibu kandung yang melahirkanku. Juga bukan saudaraku. Namun, kedekatan kami sudah layaknya seperti hubungan antara ibu dan anak. 


"Selamat ya Nang," katanya singkat dengan nada haru, sambil mendekapku dengan hangat.


Perempuan tua itu memang selalu memanggil semua siswa laki-laki di warungnya dengan sebutan “Nang”, singkatan dari “Anak Lanang” yang artinya “anak laki-laki”.


Hanya itu yang Ibu Sepuh itu katakan. Meskipun hanya seuntai kata, tetapi rasanya banyak sekali yang aku rasakan. Aku terpaku dalam keraguan karena sebetulnya aku hendak mengaku salah dan meminta maaf.


Selama makan di warungnya, entah sudah berapa kali aku berdusta. Sesekali aku mengaku hanya mengambil dua atau tiga buah makanan, padahal  yang aku ambil lebih dari itu. Berat rasanya kalau aku harus berkata jujur dan mengaku dosa secara terbuka di hadapannya. Namun, dengan humor seorang ibu, ia mampu merampungkan seluruh konflik yang bergejolah dalam batinku.


“Mana Tika?” tanya Ibu Sepuh itu sambil menoleh ke kiri dan kanan, sembari melempar jauh pandangannya ke belakangku, mencari seorang gadis yang selama ini menjadi teman dekatku.


“Dia sudah lebih dulu pulang ke kampung Bu,” jawabku lirih.


“Yang penting jangan lupa pada ibu. Selama ini ibu tahu apa yang Kamu makan. Ibu diam bukannya tak tahu, tetapi itulah cara ibu membantu kesulitanmu. Juga termasuk sedikit uang yang Kamu pinjam untuk mencukupi kekurangan bayaran tunggakan SPP-mu agar bisa ikut ujian. Ibu sudah ikhlaskan,” kata Perempuan Tua yang baik itu dengan senyum lebarnya.


Ya. Sebagai pelajar perantau yang hanya mengandalkan kiriman uang sebulan sekali dari orang tua, aku memang kerap menunda pembayaran SPP untuk keperluan lain diluar keperluan sekolah bersama teman.


Saat itu aku tidak menangis. Aku berusaha tegar dan menjadi laki-laki yang tidak cengeng. Namun, justru saat ini aku menangis ketika mengingat kembali peristiwa tersebut, saat sedang menjalani ibadah puasa di penghujung Ramadan.


Kini warung Ibu Sepuh itu sudah tak ada. Bahkan, lahan tempat warung itu berdiri pun telah berganti menjadi sebuah bangunan kantor milik pemerintah. Namun, setiap kali aku melewati daerah itu, aku sempatkan untuk berkirim doa kepadanya “Allahummaghfirlaha, warhamha, wa’aafiha wa’fuanha“.


Tak seorang pun tetangga sekolah maupun pengurus sekolah yang tahu kemana pindahnya Ibu Sepuh itu dari tempatnya dulu berdagang. Hanya ada kabar burung yang mengatakan bahwa ia kembali ke kampung halamannya selang dua tahun kelulusan angkatanku, tanpa penjelasan di mana letak kampung halamannya. Ia pun katanya meninggal di sana.


“Ya Allah, ampunilah Ibu Sepuh itu. Belas kasihanilah ia. Hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya,” ujarku memanjatkan doa kehadirat Allah Swt.


Kini, kalau kebetulan aku lewat depan sekolahku dulu bersama keluarga, aku elus-elus kepala anak-anakku, “Biarlah bodoh dan lemah ini hanya milik bapakmu. Kalian jangan ya Nak.”


“Kok Bapak nangis?” ucap putriku menyadarkan ingatanku.


***


https://pratamamedia.com/ibu-sepuh-dan-warung-sekolah/

2 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama