Ghofar, seorang teman sekolahku semasa SMA bercerita kepadaku melalui pesan WhatsApp: "Kawan SMA angkatan kita sekarang udah banyak yang tergabung di grup WA Alumni SMA, kayaknya elu aja yang belum masuk Nang. Gua gabungin yaa."
Aku baru menuntaskan mandi sore, dan belum sempat membalas chatt nya. Ghofar terlihat masih mengetik, dan: "Rencana kawan-kawan mau ngadain Reuni angkatan kita di lebaran ini sekalian halalbihalal."
Selain memori handpone milikku kecil, sebenarnya aku pun telah memiliki beberapa grup WhatsApp, mulai dari WAG keluarga, tempat kerja, RT tempatku tinggal, kawan profesi, serta beberapa WAG lainnya.
"Ntar aja deh Ghof, memori hp gua gak muat lagi, berat!," jawabku sambil diiringi emoji maaf.
Saat ini media telekomunikasi atau aplikasi WhatsApp menjadi aplikasi berbagi pesan chat maupun telepon yang paling digandrungi oleh banyak orang.
WhatsApp kalau boleh dikatakan mampu mengalahkan aplikasi seperti telegram, SMS (pesan singkat telepon) dan lain sebagainya. Hal itu karena sekarang ini masyarakat rata-rata sudah menggunakan WhatsApp dalam berkomunikasi.
Bahkan, WhatsApp telah menjadi langganan banyak orang untuk membuat grup-grup komunitas, grup belajar maupun grup bekerja. Lebih dalam, beberapa manfaat grup WhatsApp adalah sebagai tempat berbagi cerita, sumber informasi, bercanda ria, saling dukung dan menguatkan dalam bersilaturahmi.
Menyatukan banyak hati memang hal yang sulit, karena berhubungan dengan aktivitas sosial, maka akan selalu ada beberapa orang yang menggunakan obrolan di grup untuk berkomunikasi dengan hanya satu anggota, mengobrol tentang sesuatu yang tidak relevan bagi sebagian besar anggota grup, tidak berkontribusi, mengirim foto yang dinilai tidak etis, membicarakan aib atau keburukan orang lain yang tidak tergabung dalam grup, bahkan sampai mengunggah berita-berita kontra pemerintah untuk bahan isu yang kemudian akan disebarluaskan di media sosial masing-masing.
"Nang, ada Tika di grup itu, barusan dia komen," kata Ghofar meyakinkanku untuk mau ikut bergabung di grup alumni.
Ntah mengapa, demi mendengar nama itu disebut, akhirnya aku setuju dimasukkan dalam grup WA alumni yang anggotanya adalah teman-teman angkatanku, ditambah teman lain yang aku tidak kenal karena teman yang lain itu ditambahkan oleh temanku itu, namun masih satu sekolah.
Namun di grup ini aku lebih banyak menyimak dengan hanya membaca obrolan teman-teman ketimbang ikut berkomentar dalam obrolan itu.
Dan suatu waktu aku membaca sebuah obrolan:
"Grup ini udah gak nyaman, masing-masing kita anggota grup udah gak sejalan lagi pemikirannya, gua akan keluar dari grup ini, untuk teman-teman yang mendukung silahkan ikut gua!"
Lalu temanku itu keluar, dan tak berselang hari yang lama temanku itu membuat sempalan grup WA dengan merekrut teman-teman yang mendukungnya.
Sampai disini aku masih tetap menyimak, mencoba untuk tetap tersenyum, dan berucap dalam hati:
"Ternyata bukan hanya partai politik saja yang bisa pecah, grup WA pun ternyata juga bisa pecah, bahkan ada sempalannya."
Demi satu nama itu, aku masih bertahan di grup. Perdebatan mulai terjadi akibat banyaknya anggota grup yang mulai left. Aku masih sebagai penyimak yang baik, tak ada satu komentar pun yang aku tulis.
Hingga pada dini hari jam 2 aku melihat notifikasi grup memberitau bahwa Tika left. "Ada apa ini?" gumamku dalam hati.
Didorong rasa ke ingintahuan yang besar, aku hendak coba menghubungi melalui pesan pribadi. Namun, bak mendengar petir yang kencang, aku melihat nomor kontak itu tak terhubung lagi dengan WhatsApp, tertulis komentar Undang Pengguna.
Tak berhenti disitu, aku pun coba menghubungi nomor itu melalui telepon seluler, namun hasilnya sama, "Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi," komentar dari operator.
Bodohnya aku ini, gumamku dalam hati, kenapa aku tidak langsung coba menghubunginya ketika aku dimasukkan kedalam grup itu.
Aku masih bertahan di WAG dengan hanya tetap sebagai penyimak setia, berharap ada teman yang membicarakan left nya Tika dari grup. Namun ternyata tidak ada, teman-teman terlalu asyik dengan obrolan mereka, bahkan mungkin sang admin pun tidak mengetahui kalau ada anggota grup nya yang left.
*****
Tika adalah sahabat baikku. Aku dan Tika berasal dari kota yang berbeda yang sama-sama menuntut ilmu pada sebuah sekolah menengah atas yang sama di pulau jawa. Kami selalu bersama, baik ketika menyelesaikan tugas sekolah ataupun menikmati hari libur.
Kami satu kelas yang sama, bahkan satu meja. Tika cukup cerdas di sekolah, dan justru berbanding terbalik dengan diriku yang acapkali bolos sekolah, dan sering mencotek pelajaran saat ulangan, baik ulangan harian, tengah semester ataupun akhir semester.
Ibu Saodah, pemilik kantin sekolah yang kerap menasehatiku: "Nang, kamu tuh sekolah harus sungguh-sungguh, orang tua mu menyekolahkanmu biar kamu pinter, jangan suka bolos terus."
"Iya ini Bu, bandel memang," Tika ikut menimpali nasehat Ibu Saodah.
Aku hanya diam, berlagak tidak mendengar sambil asyik menghabiskan lontong sayur dagangan kantin bu Saodah.
Puluhan tahun telah berlalu. Saat dinyatakan lulus sekolah, aku sempat berpamitan dengan Ibu Saodah pemilik warung yang sampai sekarang ucapannya selalu terngiang, ucapan ke ikhlasan dari seorang ibu, meski dia tidak memiliki hubungan kekerabatan denganku.
"Maapin saya ya Bu, saya kerap bohong sama Ibu, tidak jujur sama Ibu dengan jumlah jajanan yang saya makan," kataku kepada Ibu Sodah sambil menyalami dan mencium tangannya.
“Yang penting jangan lupa pada ibu. Selama ini ibu tahu apa yang Kamu makan. Ibu diam bukannya tak tahu, tetapi itulah cara ibu membantu kesulitanmu. Juga termasuk sedikit uang yang Kamu pinjam untuk mencukupi kekurangan bayaran tunggakan SPP-mu agar bisa ikut ujian. Ibu sudah ikhlaskan,”
Sementara Tika sudah lebih awal meninggalkan kota itu untuk kembali ke kota asalnya dengan alasan yang ia tidak katakan.
"Aku gak ikut acara perpisahan Nang. Alamat mu seperti yang kamu kasih itu kan? Nanti aku menyuratimu," ucapnya.
"Alamatmu mana, biar aku catat juga," timpalku kepada Tika.
"Gak sempat Nang, aku sudah ditunggu," jawab Tika sambil menunjuk kearah kendaraan yang berhenti di tepi jalan sekolah kami.
Sambil melambaikan tangan Tika bergegas pergi meninggalkanku yang hanya mampu memandangi kepergiannya.
Minggu, bulan dan berganti tahun, tak kunjung datang juga khabar dari Tika, sampai aku menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi kemudian kembali kekota ku lalu mendapatkan pekerjaan dan menikah.
*****
Aku masih bertahan di Grup WhatsApp itu, selain kemudian mulai aktip menjalin komunikasi dengan kawan alumni, aku berharap semoga Tika tergabung kembali.
"Ghof, tolong gua dikasih nomor WA nya Tika dong," kataku kepada Ghofar melalui pesan WA. Ntah ada kekuatan apa yang tiba-tiba mendorongku untuk menyampaikan pesan itu kepada Ghofar. Aku langsung menembaknya seolah aku memang tau bahwa Ghofar menyimpan nomor aktip dari teleponnya Tika.
Tanpa ba, bu atau bi, Ghofar mengirimkan sebuah kartu nama berisi nomor telepon. Aku sedikit tak percaya, benarkah ini nomor Tika, gumamku dalam hati.
Tak lama berselang, pesan WA Ghofar menyusul; "Nang, jangan elu bilang dapat nomor itu dari gua ya, karena Tika pernah pesen untuk gak kasih nomornya itu kepada siapapun, termasuk elu."
"Siaaap!" jawabku singkat.
Namun kini keraguan justru mulai menyelimuti batinku, apakah memang harus sesegera mungkin aku menghubungi Tika? Mengingat tak mungkin ia tidak memiliki keluarga, ada batasan etika yang harus aku jaga, namun ada hal yang juga harus sesegera mungkin aku sampaikan.
Rasa berdosa yang berkecamuk puluhan tahun terhadap sebuah amanah yang tidak aku sampaikan kala itu terus mengganggu pikiranku.
Tidak!, aku harus segera menyampaikan, niatku baik, apalagi ini sebuah amanah meski amanah tersebut telah puluhan tahun yang lalu, kataku dalam hati.
"Halloo...," terdengar suara wanita dari seberang sana, meski suara itu kini telah berubah berat sebagai pertanda suara wanita dewasa, namun suara ini pernah begitu familier ditelingaku.
Belum sempat aku membalas sapaannya, "Apa khabar Nang?" kata Tika lagi.
Oh, dia save nomorku? gumamku dalam hati tak percaya.
Obrolan kami ditelepon cukup lama. Kami saling bertanya dan bercerita masa setelah tamat SMA. Obrolan ini didominasi oleh Tika, karena pada dasarnya memang ia senang bercerita.
"Anakku sekarang sudah tiga Nang, sudah ada yang kuliah, dan yang paling kecil sekarang SMA," kata Tika lagi di telepon.
Hingga akhirnya, telepon kami tutup dengan sepakat untuk bertemu dua hari setelah hari itu. "Ya sudah. Kita ketemu aja, kata Ghofar kamu mau menyampaikan titipan seseorang untuk aku."
Semula Tika sudah menanyakan dan sedikit mendesak tentang titipan tersebut, namun aku mengatakan lebih baik kita ketemu saja, sekaligus ingin meminta maaf.
*****
Setelah puluhan tahun tidak bertemu, hari ini aku larut dalam kehangatan cerita dan keceriaan wanita dihadapanku ini. Gaya bicaranya masih seperti dulu, dengan sesekali ππππππππ‘πππ bibirnya kala bercerita, itu sebagai tanda bahwa Tika menjiwai cerita yang tengah ia sampaikan. Dan aku lebih fokus dengan mimik serta gesturnya bicara, bukan pada ceritanya.
Tak banyak berubah, hanya saja aku tidak bisa melihat rambut panjangnya lagi karena ia kini telah berhijab.
Dengan balutan jeans dan atasan kaos putih lengan panjang, ketika tadi ia melintas disampingku untuk menggeser tempat duduk, semerbak wangi tercium olehku, wangi yang elegan, mencerminkan karakter diri, ia kini telah benar-benar menjadi wanita dewasa.
"Heeiii, kok malah bengong," suara Tika membuyarkan apa yang tengah aku pikirkan.
"Dari dulu masih belum berhenti merokok Nang?" tanya Tika ketika melihatku memantikkan korek api hendak menyulut rokok dibibirku.
Tanpa canggung ia memperhatikanku. Sambil memiring-miringkan kepala ia melihat kearah rambutku, kacamataku, pakaianku.
"Ada apa?" tanyaku sedikit salah tingkah.
"Kamu tambah item," kata Tika sambil tertawa terbahak. Aku hanya tersenyum sambil membuang abu rokok kedalam asbak.
Sambil menikmati minuman dan makanan kecil, kami saling menceritakan pengalaman masing-masing seusai tamat SMA. Tika tidak sempat menyelesaikan kuliahnya, karena desakan dari orang tuanya untuk segera menikah dengan seorang anak dari sahabat karib ayahnya.
Tika mengaku sedih, karena sesungguhnya ada laki-laki lain yang telah mengisi hatinya selama ini. Namun sebagai bentuk kepatuhan kepada orang tua, Tika pun hanya mampu menerima.
"Witing Tresno Jalaran Soko Kulino," Tika menirukan ucapan Ayahnya untuk bisa menerima Jams sebagai suaminya. "Lambat laun kamu bisa Nak, apa lagi Jams laki-laki dewasa dan telah memiliki kehidupan yang mapan."
Ntah mengapa, kali ini, aku benar-benar menyimak semua cerita Tika, seolah tak ingin ada kata yang terlewatkan oleh pendengaranku. Sampai akhirnya Tika bertanya: "Titipan apa dan dari siapa yang mau kamu sampein Nang?".
Aku menghela nafas sejenak, coba menenangkan diri. Kemudian: "Semasa kelas 3 dulu, Yan pernah menitip surat cinta untuk kamu. Namun, karena aku...," sampai disitu aku berhenti tak melanjutkan ceritaku.
"Kenapa Nang?"
"Surat itu tak pernah aku sampaikan padamu, karena diam-diam akupun mencintaimu," kataku sambil menatap Tika.
Tika hanya menunduk, ntah apa yang sedang dipikirkannya.
"Hingga akhirnya aku mendengar khabar kalau Yan meninggal dunia karena kecelakaan motor sebulan setelah kelulusan kita," lanjutku.
"Perasaan bersalah itu selalu menghantuiku karena aku sudah tidak amanah."
Beberapa saat kami hanya terdiam. Larut dengan pikiran masing-masing. Aku memainkan rokokku dan Tika memainkan gelas minumnya dengan ketukan cincinnya.
"Ka, maapin aku ya," kataku memecah keheningan.
"Gak Nang, gak ada yang perlu dimaapin, kamu gak salah. Yang salah adalah kenapa kamu gak mengatakan bahwa kamu naksir dan juga mencintaku. Karena Yan pun sebelumnya pernah langsung mengirimkan surat, sudah aku balas, dan aku menolaknya. Karena sebenarnya diam-diam aku pun menyukaimu," kata Tika sambil menunduk dan terus mempermainkan gelas minumannya.
Sambil menatap lurus kearahnya, aku mengambil gelas yang ia pegang berharap Tika mengangkat wajahnya kearahku.
"Benar itu Ka?" tanyaku karena tak percaya
Tika mengangguk sambil berucap lirih; "Sumpah!", katanya.
Situasi ini hampir saja aku menuruti perasaanku. Tapi, tidak! Jangan memulai bermain dengan perasaan, cinta tak selamanya harus bersama. Adakalanya cinta justru gawat jika terus dibiarkan tumbuh. Kami kini telah memiliki pasangan masing-masing, demi alasan masa depan keluarga dan norma yang berlaku, perasaan ini harus aku kubur dalam-dalam.
"Nang, sekali lagi, gak ada yang perlu disesali, biar itu menjadi bagian dari cerita saja, dan kita pun belum pernah memulainya, walau benar kita pernah saling menyukai, kala itu," kata Tika yang ternyata memiliki pemikiran yang sama denganku.
*****
Senja mulai merambah, sejuknya udara pengunungan membuat waktu terasa begitu saja berlalu, sudah tiga jam kami berada di resto itu.
"Kapan kamu kembali ke Lampung Nang," tanya Tika setelah aku membayar bill makanan kepada pramusaji yang aku panggil.
"Penerbangan terakhir malam ini," jawabku sambil mengantar Tika menuju ke kendaraan Sedan yang ia kendarai sendiri.
"Khabari aku kalau sudah sampai," kata Tika sambil memasang seatbelt.
Aku mengangguk, dan membantu menutup pintu mobil, tak lama Tika menyalakan mesin dan menurunkan kaca sambil melambaikan tangan.
Sambil melangkah menuju kendaraan yang aku sewa, di barat aku melihat langit senja Kaliurang mulai memerah, mengiringi laju kendaraan Tika menuruni bukit itu. [Prie]
*****
Love story nya sedih ya Nang...*
BalasHapusUntuk niat mulia mereka π
HapusIni cerita update, WAπ
BalasHapusSiapa hayooo... π€£
HapusPosting Komentar