Catatan Perjalanan #3 Masjid Sulthony Rejodani, Jogyakarta, Merupakan Aset Budaya yang harus dijaga Kelestariannya

Catatan Perjalanan #3
Masjid Sulthony Rejodani, Jogyakarta, Merupakan Aset Budaya Yang Harus Dijaga Kelestariannya


Tampak samping Masjid Sulthony Rejodani, Jogyakarta - (Sumber: Prie)

Meski tidak dapat menjangkau semua tempat-tempat wisata dalam waktu satu hari, namun penulis sudah cukup puas dapat mengitari beberapa tempat yang memiliki nilai budaya dan sejarah di kota Yogyakarta termasuk singgah sejenak di Keraton Jogya. Menjelang malam kemudian penulis kembali ke Home Stay di Desa Rejodani untuk beristirahat karena besok harus melanjutkan perjalanan menuju Surabaya.

Pada kamis subuh, 22 Juni 2023 penulis sempat melaksanakan shalat subuh pada sebuah masjid di desa tempat penulis menginap. Ternyata disini terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Sulthony, tidak hanya digunakan untuk beribadah, tetapi Masjid ini telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya oleh Bupati Kabupaten Sleman.

Tampak muka Masjid Sulthony Rejodani dan jamaah yang baru selesai melaksanakan shalat - (Sumber: Prie)

Berdasarkan kisah turun menurun yang dituturkan oleh sahabat kecil penulis, Mas Dar (Sudarmaji) bahwa masjid ini merupakan Masjid Kagungan Dalem yang berada di bagian utara Yogyakarta, tepatnya berada di Jl. Masjid, RT: 03 RW :02, Padukuhan (Dusun) Rejodani I (Dusun I), Kalurahan (Desa) Sariharjo, Kapanewon (Kecamatan) Ngaglik, Kabupaten Sleman, D.I. Jogyakarta.

Masjid tersebut dibangun pada masa perang Diponegoro, tepatnya dibangun pada tahun 1827 dan dibangun oleh kiai Kasan Besari. Beliau adalah panglima dari Pangeran Diponegoro.

Dalam masa perang Diponegoro yang berlangsung antara tahun 1825 hingga 1830, Kyai Kasan Besari menjadikan wilayah Rejodani sebagai wilayah basis pasukan Pangeran Diponegoro dan sekaligus tempat persembunyian Kyai Kasan Besari.

Pemakaman Muslim di Area Masjid Sulthony Rejodani. Pada makam ini terdapat pesarean (makam) istri Pangeran Diponegoro dan Para Pejuang lainnya (Sumber: Prie/PMN)

Lebih lanjut Mas Dar mengatakan, berdasarkan penjelasan dari pengurus (takmir) Masjid Sulthoni Rejodani, awalnya bangunan masjid tersebut berada ditengah makam Rejodani. “Keberadaan masjid ditengah makam agar aman dari kejaran Belanda pada saat perang Diponegoro.”

Penulis dan Mas Dar/Sudarmaji - (Sumber: Prie/PMN)

Setelah perang Diponegoro berhenti, ditandai dengan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pihak Belanda di Magelang pada tahun 1830, maka pada tahun 1838 bangunan Masjid Sulthoni dipindah keluar makam. Luas makam ini berkisar seluas 800 meter persegi, dan pada makam ini terdapat pesarean (makam) istri Pangeran Diponegoro yang bernama Ratna Ningsih.

Makam istri Pangeran Diponegoro yang berada di Pemakaman Muslim Masjid Sulthony Rejodani (Sumber: Prie)

“Masjid tersebut dipindah oleh Kiai Muso dan kiai Ibrahim, warga asli Rejodani yang menjadi murid kiai Kasan Besari,” kata Mas Dar menirukan penjelasan dari takmir masjid.

Ruang dalam Masjid Sulthony Rejodani, Sleman, Yogyakarta – (Sumber: Prie)

Melansir dari sebuah laman Tribunjogja.com setelah bangunan masjid di pindah tahun 1838, pada tahun 1900 dibangun serambi masjid. Pembangunan serambi masjid tersebut diprakasai oleh kiai Haji Ahmad Darumi, kiai Citrowihardjo, dan kiai Ahmad Dasuki.

Baru pada tahun 1941, pihak keraton Yogyakarta mengangkat perabot masjid menjadi abdi dalem. Pengangkatan abdi dalem tersebut atas usulan kiai Djohar, seorang kiai dari Kauman kepada keraton Yogyakarta. Pada tahun itu pula masjid ini diberi nama Masjid Sulthony.

Tahun 1941 tersebut Keraton Yogyakarta mengangkat tujuh orang perabot masjid. Keberadaan abdi dalem keraton Yogyakarta di masjid Sulthony berlangsung hingga tahun 1967. Setelah itu tidak ada penerus abdi dalem yang menjadi perabot masjid Sulthony.

Bangunan masjid Sulthony layaknya bangunan masjid Kagungan Ndalem lainya. Berasitektur Jawa dengan atap model tumpang. Didalam masjid terdapat empat tiang penyangga bangunan utama masjid. Hingga saat ini tiang dan kayu yang menjadi struktur atap masjid Sulthony masih asli sejak tahun 1838. Di dalam masjid masih terdapat mimbar dan bedug yang berumur sama dengan bangunan utama masjid. Dulunya di sekeliling bangunan masjid terdapat kolam, tetapi sudah diurug.

Masjid Sulthony Rejodani pun kerap dikunjungi oleh wisatawan dan peziarah. Oleh karena itu, setiap renovasi harus mendapat izin dari pihak Keraton Yogyakarta, selaku pemilik, dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, sebagai pihak berwenang. Juga sebagai bangunan cagar budaya, renovasi masjid tidak diperkenankan mengubah bentuk aslinya yang berbentuk limasan.

Tampak samping Bedug Masjid Sulthony Rejodani, yang konon usianya sama dengan bangunan Masjid Sulthony Rejodani (Sumber: Prie/PMN)

Tampak depan Bedug Masjid Sulthony Rejodani, yang konon usianya sama dengan bangunan Masjid Sulthony Rejodani (Sumber: Prie)

Kemudian penulis sempatkan menziarahi makam tersebut, dan mengirimkan do'a untuk para ahli qubur, khusus kepada para pejuang yang pesareannya (makam) banyak terdapat di pemakaman muslim tersebut. (Prie)

***

Artikel ini pernah di publish sebelumnya di media online lampungutara.pratamamedia.com pada tanggal 06 Juli 2023 dengan penulis Suprianto dan editor JHK.

https://lampungutara.pratamamedia.com/2023/07/06/catatan-perjalanan-3-masjid-sulthony-rejodani-yogyakarta/

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama